Jumat, 12 November 2010

AQIKAH, IBADAH, AKHLAK

a. Aqidah
Kata aqidah berasal dari bahasa Arab, yaitu العقد yang berarti الجمع بين أطراف الشيء (menghimpun atau mempertemukan dua buah ujung atau sudut/ mengikat). Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution, timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang berbunyi;
…ومن لم يحكم بما أنزل الله فألئك هم الكافرون

Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS al-Maidah/ 5: 44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah.
Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.
b. Ibadah
Ibadah berasal dari kata العبد yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata العبادة yang berarti إظهار التذلل (memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan). Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah.
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.
Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan (ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.
Yusuf al-Qaradhawiy menjelaskan lima persyaratan agar suatu perbuatan dapat bernilai ibadah, yaitu:
1) Perbuatan yang dimaksud tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2) Perbuatan tersebut dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas.
3) Untuk melakukan perbuat tersebut, yang bersangkutan harus memiliki keteguhan hati dan percaya diri bahwa perbuatan yang dilakukan akan membawa kepada kebaikan.
4) Harus memperhatikan garis-garis atau aturan-aturan Allah SWT, tidak ada unsur kelaliman, khianat, penipuan dan lain-lain.
5) Perbuatan-perbuatan duniawi yang dilakukan dengan niat ibadah tidak boleh menghalangi kewajiban-kewajiban agama seperti berjual beli yang membuat diri lalai mengerjakan shalat dan sebagainya.

c. Akhlak
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari الخلق (al-khuluq) yang berarti القوى والسجايا المدركة بالبصيرة (kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin). Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk dari jiwa tauhid.
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.
Secara garis besar menurut Endang Saifuddin Anshari, akhlak terdiri atas; pertama, akhlak manusia terhadap khalik, kedua, akhlak manusia terhadap sesama makhluk, yakni akhlak manusia terhadap sesama manusia dan akhlak manusia terhadap alam lainnya.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlaq manusia terhadap Allah SWT bertitik tolak dari pengakuan dan kesadarannya bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah yang memiliki sifat terpuji dan sempurna. Dari pengakuan dan kesadaran itu akan lahir tingkah laku dan sikap sebagai berikut:
1) Mensucikan Allah dan senantiasa memujinya.
2) Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah setelah berbuat dan berusaha terlebih dahulu.
3) Berbaik sangka kepada Allah, bahwa yang datang dari Allah kepada makhluk-Nya hanyalah kebaikan.
Adapun akhlaq kepada sesama manusia dapat dibedakan kepada beberapa hal, yaitu:
1) Akhlaq kepada orang tua, yaitu dengan senantiasa memelihara keredhaannya, berbakti kepada keduanya dan memelihara etika pergaulan dengan keduanya.
2) Akhlaq terhadap kaum kerabat, yaitu dengan menjaga hubungan shilaturrahim serta berbuat kebaikan kepada sesama seperti mencintai dan merasakan suka duka bersama mereka.
3) Akhlaq kepada tetangga, yaitu dengan menjaga diri untuk tidak menyakiti hatinya, senantiasa berbuat baik (ihsân) dan lain-lain sebagainya.

Sumber “http://apri76.wordpress.com/2008/07/14/ruang-lingkup-ajaran-islam-sebuah-telaah-kritis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar